Kamis, 08 Oktober 2020

Singapura : lewat Batam, ngintip 9 jam

Assalamu'alaikum, sahabatku yang dengan dan/atau tanpa sengaja melihat tulisanku, semoga hidup kalian selalu dinaungi kasih sayang dan keberkahan. Amin.

Kali ini, aku hendak berbagi cerita tentang perjalanan nekat solo midnight trip yang begitu singkat, tetapi banyak pelajaran yang aku dapat.

Jadi, tahun lalu aku diberi kesempatan buat berkunjung ke salah satu pulau di ujung barat Indonesia, Batam. Alhamdulillah...
Tapi yang akan aku ceritakan justru bukan Kota Batamnya, ya karena memang hanya singgah sebentar di beberapa tempat seperti nyun-set di Pantai Ocarina dan Sujud Tour di salah satu masjid yang masuk dalam Daftar Kunjung Wajib kalo sahabat mampir ke Kota Batam, yaitu Masjid Jabal Arafah.

----
"Ga afdhal kalo ga nyebrang kalo udah di Batam!"

Begitulah kata berbanyak orang yang kutemui begitu sampai di kota ini. Sejujurnya memang sudah sempat kepikiran sih ketika ada plan ke Batam pengen sekalian nyeberang, terbukti aku juga membawa serta passport sebagai antisipasi jikalau tiba-tiba hasrat untuk berjalan muncul tanpa diundang, cuman gimana jadi atau tidaknya tergantung nanti. Ya! tergantung nanti suasana hati, suasana kantong dan suasana cuaca.
Alhasil suasana semesta mendukung. Rasa penasaran semakin memuncak saat melihat deburan kecil ombak di Ocarina, bahwasanya tahu tidaknya suasana dan perasaan tergantung dari keputusan kita untuk mengambil kesempatan mau atau tidak. Jadi, hanya perkara mau atau tidak.

Karena diri ini mau tahu bagaimana suasana dan perasaan 'di sana', selepas matahari berlalu dan menuju peraduannya aku mulai scrall-scroll cara nyeberang dari Batam ke Singapura.

                                        
                                   
Ocarina, 12 Maret 2019 pukul 18.00 WIB

Ternyata, ada beberapa pelabuhan kapal yang memiliki rute ke Singapura dari Batam atau pun sebaliknya, yakni Batam Center, Harbour Bay, dan Sekupang. Kebetulan tempat aku menginap lebih dekat ke pelabuhan Batam Center dan kupikir juga pasti akan lebih banyak orang, mengingat keamanan diri adalah prioritas, jadi harus hindari tempat-tempat yang sepi. Tereksekusilah tiket PP Batam Center - Harbour Front.
Oya, karena ambil jalan pintas aku membelinya tidak langsung di counter pelabuhan melainkan lewat aplikasi yang bisa sahabat download, Batamfast. 

Coba tebak nih aku memilih kapal dengan jam keberangkatan yang mana?

Mungkin ada yang menebak paling besok paginya, kan secara udah gelap matahari udah tenggelam.
Jawabannya adalah salah. Aku memilih jam keberangkatan malam itu juga. Gerimis juga. Paling ciamik, sendirian juga. Haduh, rasanya antara percaya dan tidak kakiku sudah menapak Pelabuhan Batam Center pukul 19.15 WIB setelah sebelumnya beradu melawan angin malam Kota Batam naik ojek online. Terimakasih abang ojek yang mengantarkan dan sedikit menyemangati kepergianku.

"Hati-hati, ya mba. Selamat berlibur!", kata abang ojek.




"Ada baiknya tukar uang dolar Singapura kali ya siapa tahu nanti sempat mampir beli cinderamata. Atau kalau pun tidak beli ya setidaknya jadi punya uang dolar Singapura". Sesimpel itu diri ini memutuskan untuk menuju ke salah satu dari sekian banyak money changer di pelabuhan. Tidak seberapa, setidaknya cukup.

Gate keberangkatan menuju Singapura berada di lantai dua. Sejauh mata memandang selepas melewati security check tiket, hanya sekitar 10 orang yang membersamaiku. Ada satu keluarga, pasangan suami istri, dan gerombolan traveler. Aku? memang sejak tadi sendirian :')
Tiba saatnya menuju pemeriksaan pasport. Khawatir dianggap berlagat mencurigakan sehingga memancing petugas imigrasi untuk random interview, aku bersikap sesantai mungkin, serileks mungkin, ngobrol kecil dengan beberapa penumpang lain. Cekrek sana-cekrek sini sembari melirik jam di handphone, 20.30 WIB.

Benar saja kekhawatiranku direalisasikan oleh fakta. Aku diminta minggir alias masuk ke dalam ruang random interview oleh petugas imigrasi. Oke, baiklah. Tinggal dijawab dan diceritakan apa adanya maka lolos lah sekitar 15 menit ditanya ini-itu. Tigapuluh menit menuju gerbang kapal dibuka, aku hanya tetap terjaga melihat sekitar. Ternyata, gerombolan orang tadi tidak satu kapal denganku. Aku berakhir sendirian untuk beberapa menit setelah disusul 3 orang kemudian. Cukup mencolok nampaknya ya solo trip malam-malam. Apalagi bagi seorang wanita. Bisa jadi aku satu di antara mereka yang merasa biasa saja melakukan hal ini. Sahabat adakah yang merasa begitu?

"Where are you going, Miss?", seorang traveler menanyaiku sembari berjalan masuk ke kapal yang siap jalan.

"Just walking around". Emang bener kan, cuma pengen jalan dan tahu aja. Jadi, tujuanku ya terus berjalan dan tidak diam, batinku.

Hujan menemani perjalananku selama satu jam di dalam kapal. Niatnya tidak akan menutup mata, tapi apadaya tubuh tak bisa bohong, mungkin setengah perjalanan aku menutup mata. Sengaja aku memilih tempat duduk di pinggir jendela sehingga bisa melihat keluar, meskipun mau dibayangkan sebagus apapun tetap saja pemandangan luar adalah hitam, karena malam itu gelap. Terlepas dari ingin melihat-lihat selama perjalanan, aku ingin tetap terjaga karena aku juga harus mawas diri. 


---
Harbour Front, 22.30 Singapore Time

Sesingkat itu. Semudah itu. Semungkin itu. Singapura, aku di sini. Maaf, kuawali dari sebuah keisengan hati.
Begitu sampai di pelabuhan, langsung disodori formulir formal yang harus diisi bagi siapapun yang masuk ke sebuah negara.

"Welcome to Singapura, Miss!", seorang petugas pelabuhan yang berusia sekitar 70 tahunan menyapaku dengan penuh ramah. 
Mungkin beliau sedang dapat shift malam, jadi tidak di rumah. Pikiranku jadi ke arah situ sembari membuka obrolan dengan bapak tadi. 

Chit-chats*

"Enjoy your trip, maam!", sambil melempar tangan ke arahku. Kubalas senyum itu dengan milikku.

Oke, mari lanjutkan perjalanan!
Aku berjalan mengikuti arus saja sampai tibalah di stasiun MRT. Niatnya mau nyobain MRT di Singapura, namun sayang jam operasi MRT telah usai. Aku keasikan berjalan sampai kurang perhatian dan ketinggalan kereta terakhir. Oke, tantangan baru dimulai.

Beruntung pelabuhan Harbour Front ini nyambung dengan Mall Vivo City yang paling tidak bisa kumanfaatkan fasilitasnya untuk membuat aku tetap berjalan. Seperti mall biasanya pasti ada beberapa tempat yang memang buka 24 jam. Benar saja, di salah satu tempat nongkrong paling ramai masih banyak orang yang menghabiskan malam di mall, bercengkrama tertawa bersama. Sampai pada suatu waktu, aku tersadar di sebelahku ada seorang traveler wanita juga yang duduk bersila di lantai.
Kami mengobrol dan salah satu topik lucunya adalah kita sama-sama mencari spot yang sinyal wifi-nya paling kuat. Sungguh kurang faedah sekali. Tapi itulah trigger obrolan kami hingga gelak tawa pecah.

Hampir 30 menit kami asik dengan gawai masing-masing, traveler tadi sudah say bye beberapa waktu yang lalu. Kenikmatan melihat suasana keramaian sekitar adalah hal favorit yang bisa kurasakan saat itu. Haha-hihi manusia yang entah tulus atau palsu. Aku hanya bahagia dan bersyukur bisa melihat suasana itu.

Sedikit bosan berjalan di dalam mall, aku keluar. Ternyata di luar mall asyik juga. Banyak anak-anak yang bersepeda, main scooter, rollerblade, rollerskate, skateboard, dan teman-temannya. Lalu lalang kendaraan semakin berkurang di jalan sampai begitu mudahnya membelah jalan raya untuk menyeberang. Aku mencoba mencari masjid di sekitar mall, meskipun aku tahu pasti di dalam mall juga ada prayer room, tapi ingin sujud di masjid saja. 

---
Masjid Temenggong Daeng Ibrahim, 13 Maret 2019, 01.45 Singapore Time

Akhirnya, kumenemukanmu meski baru dibuka sekitar pukul 04.00. Setidaknya ada dua jam lagi aku bisa memasuki rumah-Mu dan kembali Sujud Tour di belaham bumi lain.
Sekembaliku dari masjid itu, aku mencoba mencari spot keramaian yang tidak lain tidak bukan ya di mall tadi. 
Beberapa anak yang tadi bermain masih asyik bermain. Tapi sudut mataku tertuju pada seorang bapak petugas kebersihan berusia 65 tahunan tengah menyapu dedaunan yang gugur di sekitar luar mall. Sungguh, trenyuh hati ini, aku melihat sisi lain dari Singapura. Yang mungkin jika aku tidak "nekat" berangkat malam itu, aku akan menatap negara ini dengan Merlion Park dan Marina Bay Sands nya saja. Beruntung dan bersyukur perjalanan pertamaku ini mengintip hal yang langsung terpatri di hati.
Sesapa dengan bapak tadi sebentar, lalu mataku mulai pedih, kakiku mulai pegal. Aku mulai lelah.
Sampai kutemukan sebuah kursi terbalik dari sebuah restoran makanan yang berada di luar mall.
Iseng, aku balikkan kursi tadi dan duduk sembari perlahan meletakkan kepalaku di meja sampai....pulaslah tidurku.


---
04.00 Singapore Time, aku sudah kembali di masjid tadi. Tempat wudhunya unik dan bersih. Bahkan, sebelum aku meninggalkan tempat tersebut, aku diberi sedikit snack oleh ta'mir masjidnya. Huuu alhamdulillah, setidaknya ada ganjalan sedikit di perut pagi-pagi buta begini.
Singapura di jam kerja sungguh gila. Aku kira Jakarta sudah cukup membuatku gila, ternyata di sini lebih-lebih. Tapi, ada satu kebiasaan orang sana yang baik menurutku, budaya membaca koran disaat antre. Sebetulnya bukan korannya, tetapi kebiasaan "membaca" nya yang patut kita tiru, aku terutama.

Sudah tukar uang, sayang kan kalau tidak dipakai. Aku belikan sepaket nasi sayur dan air minum untuk sarapan sebelum pulang. Tunggu... pulaang?
Ya! Tiket kembali ke Batam adalah kapal yang berangkat paling pagi. Aku bertolak pulang. Sembilan jam yang bisa membuat aku memperbarui suasana hati. Terutama suasana iman yang lebih baru.

Jadi begitu sahabat. Memang terkesan tidak ada menarik-menariknya ya tapi bagiku ini keputusan menarik yang pernah aku ambil dan semakin menarik karena hari itu juga aku meninggalkan Kota Batam.











Minggu, 05 April 2020

Pandemos 2020

Selamat pagi sahabat!

Sudah hampir satu tahun setelah postingan terakhir, aku belum menulis kembali. Oh, bukan! Aku selalu menulis, hanya saja tidak di sini.
Saat ini, dengan kondisi yang sedang terjadi hampir 3 bulan ini, sepertinya menjadi aktivitas baru bagiku untuk menambah koleksi draft di blog ini.



Pertama, bagaimana kabar semua sahabat dan keluarga? Masih betah untuk di rumah saja?


Percayalah, hold on, calm down. Sedikit lagi kita harus tahan. Nikmatilah apa yang ada di dekatmu sekarang karena bisa jadi selama ini hal-hal kecil di sekitar kita sering terabai bahkan tak diacuhkan. Misalnya saja menyapa tetangga. Seringkali dengan kesibukan yang kita miliki, sesapa antar rumah bisa saja terlupakan karena merasa masing-masing memiliki masalah sendiri dan merasa cukup mampu untuk mengatasi masalah tersebut sendiri pula. 

Belum lagi jika tempat tinggal sekarang jauh dari keluarga, berapa kali kita sapa kabar dan keadaannya? Seminggu sekali pun belum tentu iya.



Kalau menurut aku, ditengah keadaan yang seperti sekarang ini penting banget buat melakukan inspeksi ke diri sendiri. Membedah satu per satu hal-hal yang sudah dilakukan selama hidup. 

Sudah seperti apa hidup di bumi ini? Sudah seperti apa menjalani peran sebagai hamba, makhluk berakal, warga negara, anak, kakak, adik, pasangan, atau orang tua?

Yuk, temenin buat list "What am I grateful for" hehe.



What am I Grateful for are...




Sebagai hamba Tuhan, Allah SWT, aku bersyukur karena dengan adanya pandemi ini menjadikanku tersadar atas Kuasa-Mu, Keagungan-Mu, Kebaikan-Mu, bahkan bisa jadi aku persepsikan sebagai Kerinduan-Mu. Bisa jadi kan selama ini aku tidak menghamba dengan baik, menyelingkuhi Kepercayaan-Mu atas apa yang terjadi, bahkan meragukan Kebijaksanaan-Mu. 

Sebenarnya, di bulan Maret ini aku berencana mengunjungi sebuah tempat yang "sampai saat ini belum selesai" aku ceritakan lewat blog ini. Aku ingin mengulang memori itu. Tapi, dengan jungkir-balik keadaan yang seakan memberi tanda kegagalan, dan pada akhirnya harus dituai kegagalan, sungguh membuat sedih pada awalnya. Embrace such a bad thing is not that easy, pals!


Tapi, jauh-jauh kedepan setelah pandemi ini menyerbu, aku sungguh sangat-sangat bersyukur. Ternyata Allah sesayang itu sama aku, sebegitunya melindungi aku, sebegitu rindunya mendengar doa-doa syukurku. Fix, I am an amateur servant to You, God :(



Sebagai makhluk yang dianugerahi akal untuk berpikir, aku pasti belum banyak memberi perhatian kepada makhluk lain yang tidak dianugerahi akal. Tumbuhan dan hewan. Inget banget pernah memelihara tanaman, tapi karena kesibukan jadi lupa memenuhi nutrisinya sehingga tumbuhan itu tak lama bisa bertahan hidup. Ada juga ikan peliharaan yang harus raib karena kecerobohan saat membersihkan wadahnya. 

Memang benar, manusia itu serakus itu, seikut campur itu dalam kehidupan tumbuhan dan hewan. Padahal, misalnya dari awal aku membiarkan mereka semua tumbuh dan berkembang dalam habitat aslinya, mungkin keberlangsungan keturunan dan kehidupan mereka bisa lebih panjang. 


Maka, saat pandemi seperti inilah tumbuhan dan hewan menertawakan manusia. Atas ulah kita sendiri. Mereka sekarang senang, menikmati bumi yang tenang.
Terimakasih kalian wahai tumbuhan dan hewan! Maafkan kami...



Yang terakhir, sebagai anak, kakak, dan adik, aku tak banyak bercengkrama bersama, tak banyak bersua, dan tak banyak bertatap. Lagi-lagi dengan dalih kesibukan, sering menafikan keharusan memberi kabar, bertegur sapa, dan saling mengapresiasi dengan baik. Selalu saja aku yang ingin dimengerti, selalu saja aku yang ingin ditanya lebih dulu kabarnya, selalu saja aku yang diberi apresiasi lebih dulu. Berkat pandemi ini, I am still learning about this :)




Sahabat, sudah pasti tidak hanya itu saja. Kenapa aku tulis terakhir? karena hanya sedikit manusia yang mampu memiliki kelapangan untuk bersyukur disaat mereka tidak baik-baik saja, dan aku masih berusaha menggapai itu. Sekaligus, nikmat Tuhan itu tidak terbatas, akal pikiran kita lah yang membatasi bahwa itu sebuah nikmat atau bukan.









Kalau versi aku seperti itu, versi kamu gimana sahabat?

Yuk, ketuk lebih banyak pintu langit untuk membuka pintu bumi :)




End 2021 : Drop Some Words

Assalamu'alaikum sahabat, lama tidak saya sapa. Semoga selalu sehat dan baik dalam hidup Anda semua. Amin. Sejujurnya, saya sedang memik...